Monday, 26 December 2011

Kisah Pegawai Pajak (Bagian Pertama)


sumber


SAYA TEMUKAN SOSOK IDEAL PEGAWAI PAJAK pada mendiang suami saya. Hanya Allah pemilik kesempurnaan, dan Allah menciptakan sosok yang hampir sempurna bagi saya dan anak-anak. Ismail Najib nama lengkapnya. Ia terlahir dari keluarga yang sederhana di pelosok Jambi. “Ayah,” kami biasa memanggilnya. Ibunya, mertua saya, memanggilnya Mael. Teman kantornya memanggilnya Najib atau Pak Najib.


Abang pergi mendahului kami. Ia menitipkan tiga buah-hati kami. Dafi Muhammad Faruq, putra, umur enam tahun, kini kelas satu SD. Adiknya, dua putri cantik kami, Kayyisah Zhillan Zhaliila, usia tiga tahun dan Mazaya Hasina Najib, tiga bulan. Ketika Abang mangkat pada 21 Februari 2011, si bungsu masih dalam kandungan empat bulan. Meski telah pergi, Abang mendidik saya menjadi orang kuat dan mandiri. Dengan kondisi long distance, saya memilih homebase di Kota Kembang demi pendidikan anak anak. Dengan bekal ilmu agama yang Almarhum berikan, sekarang saya menjadi tahu apa itu arti syukur, ikhlas, dan tawakal. Itulah yang membuat saya harus bangkit menyikapi keadaan ini.
Pegawai Pajak, pekerjaan yang luar biasa “banyak godaannya”. Abang memberikan pengertian pada saya bahwa materi yang identik melekat dengan pegawai Pajak, jangan menjadi patokan kebahagiaan dan kesenangan. Karena, tidak semua orang Pajak bermateri (saat itu saya tidak mengerti apa maksudnya).

Hingga sekitar 2005, Abang mengutarakan puncak kegundahannya. Setelah bekerja selama satu dekade, kebimbangan itu pun terucap, “Bunda, Ayah takut apa Ayah sudah menafkahi keluarga ini dengan halal?” ia bertanya kepada saya. Banyak pandangan negatif terhadap pegawai Pajak saat itu bahkan hingga kini. Saya bekerja di salah satu bank BUMN. Banyak nasabah dan teman seprofesi yang “curhat” tentang tindak-tanduk pegawai Pajak dan betapa ribetnya mengurus pajak (waktu itu), sebelum modern.

Kami melihat kenyataan bahwa saat itu ada pegawai pelaksana yang punya rumah dan mobil mewah. Abang seorang kepala seksi, dan kondisi itu yang membuat Abang sering memberi pengertian pada saya. Sebagai seorang istri pegawai Pajak, saya harus hidup sederhana dengan gaji sebagai PNS. “Jangan pernah terpengaruh dan mempengaruhi suami untuk mendapatkan sesuatu yang tidak halal,” Abang memberi nasihat.

“Apa gaji yang ayah terima ini halal?” kembali ia gusar. “Nafkahilah keluarga ini dengan keringatmu. Bun percaya Ayah akan memberikan yang terbaik untuk kami,” jawab saya.

“Kira-kira bagaimana jika Ayah keluar saja? Jadi guru ngaji.” tuturnya membulatkan tekad. Matanya berlinang. Saya pun ikut menangis saat itu.
“Ayah, apa gak mau lingkungan Ayah jadi lebih baik? Kalau Ayah mundur sekarang, gak ada perubahan di Pajak. Ayah harus mengubah kebiasaan itu. Pajak memerlukan orang seperti Ayah untuk bisa berubah. Ayah pasti bisa.” tutur saya menyambung percakapan waktu itu.

“Iya yah, Bun,” jawabnya. Kegelisahan itu akhirnya terjawab dengan modernisasi dan reformasi birokrasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Pada 2006, sampailah juga gelombang kantor modern di Jawa Tengah, waktu itu Abang dinas di Pekalongan.

Abang orang yang sangat sabar, tenang, tak banyak bicara. Malah terkadang tanpa ekspresi. Namun dalam diamnya, saya tahu ia tak diam. Selama kami bersama, belum pernah ia marah sekalipun. Ia laki-laki yang hangat dan update, selalu tahu semua hal. Diajak segala macam diskusi, pasti langsung nyambung apapun topiknya, apalagi soal agama. Keseimbangan itu yang kami teladani di rumah. Ia orang yang ngocol, kadang jail dan sangat romantis. Dengan gitar kesayangan, ia sering bernyanyi bersama anak-anak dengan kekonyolannya, melucu sampai tertawa terbahak-bahak. Itu semua momen yang kami rindukan.

Salah satu lagu pengantar tidur anak-anak yang sering dinyanyikan, “Demi masa, sesungguhnya manusia kerugian, melainkan yang beriman dan yang beramal sholeh, ingat lima perkara sebelum lima perkara, sehat sebelum sakit, muda sebelum tua, kaya sebelum miskin, lapang sebelum sempit, hidup sebelum mati…”

Loyalitas dan dedikasinya yang tinggi tak diragukan. Saya acungi jempol. Saya ingat, saat itu saya sedang hamil enam bulan anak pertama. Tatkala terkena pengristalan batu ginjal, ia masih bekerja larut hingga hampir pingsan di sebuah klinik di Pekalongan. Opname yang dianjurkan dokter tak dihiraukannya. Saat itu hari-hari akhir penerimaan SPT wajib pajak. Operasi “tembak” adalah solusi yang kami pilih karena bisa lebih cepat pulih dan tidak usah dilakukan pembedahan. Saran dokter, opname selama dua minggu. Namun, bedrest hanya bertahan tiga hari. Kala itu belum ada mesin absen fingerprint. Masih serba manual dengan tanda tangan. “Titip absen saja, kenapa?” saya saking kesalnya memberi saran. “Lagi sakit kok mikirin kerjaan, gimana bisa orang sakit kerjanya maksimal?”

Abang hanya tersenyum mendengar kekesalan saya. Alhasil, dengan keadaan yang masih lemas, ia tetap kerja. “Sakit itu ujian dari Allah. Harus kita nikmati, dan jangan mengeluh,” jawabnya simpel.

Tiga tahun tugas di Pekalongan dilalui dengan baik. Lalu, Abang mutasi ke Palembang. Satu sisi lebih jauh dengan kami. Tapi di sisi lain, lebih dekat dengan kampung halamannya. Alhamdulillah, Agustus 2010, kami didekatkan. Abang mutasi di Kantor Pelayanan Pajak BUMN, kantor pajak dengan penerimaan terbesar, yang perlu effort lebih tentunya. Saya hanya bisa berdoa agar setiap langkah yang Abang ambil adalah yang terbaik. Saya dan Ibunda tercinta, mertua saya,




mengkhawatirkannya. Semoga ia selalu sehat dan jauh dari “godaan”. Setiap minggu Ibunda selalu mengingatkan, “Mael, hati-hati dalam setiap memutuskan sesuatu. Jadilah orang yang jujur dan jangan sampai tergoda dengan duniawi ya.”


“Kenapa suamimu gak minta pindah di Bandung saja? Kan bisa lewat Si Anu. Yah, minimal setor satu Kijang lah,” salah satu teman saya yang suaminya juga di Pajak mengipas-kipasi. Saya tak tahu maksud ucapannya, apakah ia bercanda atau serius.

Dan seperti biasanya, ia hanya tersenyum saat saya ceritakan hal itu. “Sudah, gak usah dipikir. Allah punya rencana yang lebih indah untuk kita. Yah kita berdoa saja. Sekarang Pajak sudah modern udah gak perlu kayak gitu lagi kok. Yang penting kerja kita bagus. Apapun yang kita lakukan karena Allah. Malah jadi ibadah kan?”

Ketika kasus Gayus terekspos, tentu ini mengecewakan banyak pihak yang telah bekerja keras. Di satu sisi justru suami saya senang. “Pada akhirnya, biarlah yang benar yang akan menang,” tuturnya. Di sisi lain, kita harus membuktikan bahwa tidak semua orang Pajak seperti Gayus. “Orang Pajak sekarang beda dengan yang dulu. Sudah modern, sudah tidak ada lagi ‘kebiasaan’ itu,” tuturnya yakin. Secara tidak langsung saya pun ikut menjadi “jubir” bagi teman-teman di lingkungan saya.

Kebiasaan Abang yang lain adalah ingin perfeksionis. Ia ingin segala hal sempurna, rapi, dan sangat teliti. Tak mau meninggalkan cela pada pekerjaannya. Contoh kecil saja, saya kalah bila harus menyetrika bajunya. Tanpa menyakiti hati saya, ia bilang lebih puas dengan hasil setrika sendiri.

Februari 2011, Abang mengemban amanat, jadi satu anggota tim yang menyusun sebuah buku coaching di Kantor Pusat. Ia siap mengutarakan sejumlah gagasan untuk penyempurnaan program itu. Sayang, dalam perjalanan menuju medan tugas itu, Abang menyongsong takdirnya. Satu titik dalam sebuah periode yang mengubah total kehidupan saya dan anak-anak.

sumber: sepedakwitang

19 comments:

  1. Wah ceritanya menginspirasi sekali, Allah memang selalu mempunyai rencana yang terbaik buat kita. Ditunggu sambungan ceritanya ya, :D

    Salam blogger pemimpi
    Resolusi Juara 2012

    ReplyDelete
  2. Orang seperti itu sungguh sudah sangat langka ..

    ReplyDelete
  3. salut dengan orang yang seperti ini semoga diampuni dosanya dan menjadi inspirasi bagi yang lain. Sekarang orang malah banyak tergoda dengan Hot money seperti itu. Ditunggu part 2 :)

    ReplyDelete
  4. oke mas her....
    :)


    amiin mas reza..
    :)

    ReplyDelete
  5. bener banget mas,
    saya aja termasuk orang yang gimanaaa gitu liat pegawai perpajakan,
    ya karena Gayus itu..

    ReplyDelete
  6. ini kisah nyata yachh....wah hebat yachhh...emang biasanya orang baik itu umurnya pendek yachhh......

    ReplyDelete
  7. Ditunggu episode selanjutbya ya...:)
    Sulit nemuin yang kayak gitu,.#menerawang..*halah lebay :D

    ReplyDelete
  8. ya jangan semua disamakan dengan gayus....
    :P
    apaa mas jg mau...??



    ga jg kkok mbak Nia....
    emng udah takdir...
    :)

    ReplyDelete
  9. oke mbak Hsu...
    :)


    iya mas nuel...
    semoga saya jg bisa...
    amiin...
    :)

    ReplyDelete
  10. Tak pikir kisahnya mas dihas :P

    ReplyDelete
  11. Satu titik dalam sebuah periode yang mengubah total kehidupan saya dan anak-anak.
    lalu bagaimana perubahan itu?

    ReplyDelete
  12. bukanlah mbak Una...
    :)
    orang gaya bahasanya aja cewek....
    :P


    tungu episode selanjutnya mbak nurma...
    :)

    ReplyDelete
  13. dengan godaan-godaan itulah mbak merupakan jalan jihad, jika berhasil mengalahkan isanyaalloh mudah-mudahan syahid disisiNya, Amin

    ReplyDelete
  14. harus dicontoh tuh Dihas, indonesia butuh orang seperti itu :)

    ReplyDelete
  15. Allah tau apa yang terbaik bagi kita, nice share mas salam kenal ya

    ReplyDelete
  16. iya,ku pikir kisah nya dihas,,,,,,dtunggu folback nya,

    ReplyDelete
  17. oke mas ario....
    :)


    iya mas yudi....
    :)


    oke mas gun....
    :)

    ReplyDelete

silahkan berkomentar, tidak dipungut biaya..! apabila ada kata yang salah dalam hal deskripsi apa pun tentang isi dari postingan zonesa.blogspot.com, mohon kritik dan sarannya agar lebih baik. terimakasih dan salam hangat. Sehangat pelukan pasangan Anda.