Saturday 2 February 2013

Sarjana

Sumber


Beberapa waktu yang lalu saya membaca sebuah artikel dan tertarik dengan artikel tersebut. Artiekal tersebuat membahas mengenai hakikat dari seorang sarjana. Artikel tersebut dipersembahkan oleh SARTIKA DIAN NURAINI. Saya tidak mengenal beliau dan saya berharap beliau tidak marah saya menampilkan artikelnya di blog saya (seandainya beliau marah, tolong kasih tau saya, saya akan menghapusnya dari blog saya dan meminta maaf). Saya menampilkan pada blog saya bukan karena tanpa alasan, saya tertarik dan berniat membaginya dengan pembaca blog saya. Semoga bermanfaat.

Risalah Sarjana

Sarjana adalah potret terang di depan kamera. Ia menyungging senyum semringah, memakai toga dan baju kebesaran, dengan latar belakang lukisan buku-buku berjilid klasik yang sangat jarang ada di Indonesia, ditambahi kehangatan senyum anggota keluarga. Foto itu kelak adalah tanda sejarah yang meneguhkan keberadaan hingga prestise seseorang, bahkan seluruh keluarganya. Klik!

Kesarjanaan adalah perayaan kerumunan dan keramaian, pengeras suara, acara makan bersama, dan doa. Dalam proses pengesahan seorang sarjana dalam wisuda. Kegirangan dan keceriaan dengan mengabsenkan keheningan dan kekhusyukan. Perayaan kesarjanaan bukan perayaan literasi.
Kata-kata tidak lagi menjadi pengesahan kesarjanaan sebagai bentuk sumbangan pemikiran bagi peradaban. Setiap tahun, ribuan orang boleh saja ditahbiskan menjadi sarjana, tetapi sungguh sangat sedikit yang akan meninggalkan kata-kata yang berharga hasil permenungan, pengendapan dalam pikiran, dan kegelisahan intelektualitas kesarjanaan. Tak ada tagihan moral dan akademis tentang keilmuan, intelektualitas, kecendekiaan, serta kemanusiaan yang bersifat sosial, politik, pendidikan, dan budaya.


Manusia ekonomistik
Sebagai gantinya, menjadi sarjana adalah menjadi manusia ekonomistik. Sarjana adalah manusia pencari dan pencetak uang bagi keluarga, masyarakat, dan negara. Maka, pengesahan dilakukan dengan mencari kerja. Pengukuhan seseorang menjadi sarjana disempurnakan dengan menjadi pekerja. Kutukan seorang sarjana jika dirinya menganggur. Orangtua, lembaga pendidikan, masyarakat, dan negara akan menagih seorang sarjana untuk cepat-cepat menjadi manusia pencari kerja. Maka, para sarjana bergerak dan berjejal menjadi manusia pelamar kerja dalam bursa kerja.

Dalam kerumunan di bursa kerja ini, tak perlu lagi membedakan latar belakang studi sastra, teknik, politik, sejarah, dan lain-lain. Tak penting ilmu yang mereka pelajari di kampus selama beberapa tahun, toh perusahaan juga sadar bahwa sarjana itu harus dididik lagi agar sesuai dengan dunia kerja.

Di Indonesia, menjadi sarjana adalah menjadi manusia kota dan menjadi manusia kantoran. Dalam imajinasi mereka, sarjana adalah manusia tanpa keringat, manusia yang enggan melipatkan lengan baju ke atas, manusia yang enggan menyentuh tanah.

Biografi sarjana Indonesia mengesankan bahwa menjadi sarjana adalah manusia yang enggan pulang membangun tempat asalnya. Soedjatmoko (1972) pernah mengatakan, ”Lulusan universitas-universitas di Indonesia makin lama makin berorientasi pada kota-kota. Harapan mereka tentang karier, tingkat hidup, serta gaya hidup seolah-olah terikat pada kota. Padahal, sudah menjadi terang bahwa sebagian kemampuan kita harus kita memanfaatkan tidak hanya untuk memperluas sektor modern, tetapi juga untuk menggairahkan kembali dan memperkuat kehidupan di desa-desa.”

Masuk perguruan tinggi adalah jalan meninggalkan desa-desa dengan menjadi manusia kantor mewarisi rasa elite-birokrat yang priayi.

Namun, saat bekerja, sebagian besar makna kerja perlahan mulai menghilangkan rasa kemanusiaan, keilmuan, religiusitas. Semua hal yang sakral dan vital itu akan terpinggirkan oleh pamrih uang dan gengsi sosial. Kerja yang merakyat dianggap merendahkan. Mereka alpa makna bekerja.

Kehilangan martabat
Makna pendidikan dalam bekerja terasa kabur dan dangkal. Latar belakang dan jenjang pendidikan di Indonesia sepertinya sudah tidak memartabatkan.

Kita telah kehilangan figur sarjana dalam arti keilmuan dan pengabdian sebagai laku kesarjanaan. Suluh dan risalah pemartabatan manusia menguap dalam mentalitas dan etos kesarjanaan yang kian memudar dan buram. Sarjana kini adalah hamba ekonomi dan bisa melakukan apa pun untuk memenuhinya, menjual martabat ilmu, menggadaikan kemanusiaan, dan mengubur etos belajar.

Saya teringat sajak Agus R Sarjono berjudul Sajak Palsu yang ditulis tahun 1998: ”Masa sekolah demi masa sekolah berlalu, mereka pun lahir sebagai ekonom-ekonom palsu, ahli hukum palsu, ahli pertanian palsu, insinyur palsu, sebagian menjadi guru, ilmuwan atau seniman palsu.” Sarjana semestinya bermartabat!

Setelah membaca artikel di atas, marilah merenungkan hakikat sarjana. Sarjana adalah penjunjung tinggi ilmu dan pengabdian. Selain itu sarjana adalah manusia-manusia terpelajar yang siap berkarya dan bekerja. Sebuah kesia-siaan seandainya sarjana namun tidak bisa berkarya atau pun bekerja. Salam hangat untuk para sarjana, kalian adalah terbaik, paling tidak kalian siap melakukan yang terbaik untuk diri sendiri, keluarga, bangsa, agama, nusa dan bangsa. Jangan sampai kalian menjadi sarjana-sarjana palsu.

34 comments:

  1. Sarjana sekarang hanya digunakan untuk memperoleh jabatan semata. Itu fakta sob, soalnya temenku bilang juga hanya untuk cari jabatan di perusahaan tempat dia bekerja.

    coba kalau sarjana bisa menggunakan ilmunya untuk membangun desa. pasti makmur kehidupan orang desa. arus urbanisasi juga bisa di kurangi.

    ReplyDelete
    Replies
    1. itu adalah akibat dari pengaruh gemerlapnya kota, bayangkan saja 3 1/2 tahun mereka menuntut ilmu di kota...betapa besar pengaruh kota yang mereka terima, dan jangan salahkan kalau mereka sudah enggan kembali ke kampung asalnya... yang mereka anggap tidak seramai kota tempat mereka kuliah :)

      Delete
    2. yaaah kalo balik ke desa dan bikin desa jadi kayak kota ya mas...
      :)

      Delete
    3. ah pengaruh kota mah ya gitu2 aja kok..
      :p

      Delete
  2. aku sendiri ga silau sama gelar sarjana

    ReplyDelete
  3. Pakde-ku namanya Sarjono, bukan sarjana tapi sampai tua tetap saja bekerja. sementara banyak teman-ku mengaku sarjana tapi nganggur tak tahu harus mengerjakan apa

    ReplyDelete
  4. hy,km daapet award dari aku tuh
    :D
    liat di postinganku yaa

    ReplyDelete
  5. jaid ngerasa di bg, jadi serjana untuk nunggu kerja, tapi rencananya mau bikin lapanagan kerjaan., sedang berusaha ...

    serjana bukan petaka

    ReplyDelete
    Replies
    1. sarjana ya sarjana...
      ya sarjana...
      langsung 3A..
      :P

      Delete
  6. o gitu ya, terus entar kamu mau jadi sarjana yang kayak apa?

    ReplyDelete
  7. Sepakat... aku juga berpendapat tulisan Sartika di atas benar2 menarik utk dikaji.
    Dia telah berhasil memotret tentang kondisi "sarjana" saat ini
    Makasih sudah share disini jadi aku bisa ikutan baca :D

    ReplyDelete
  8. kalau kata Bos dikantor dulu, sebelum resign. Tempat'a sarjana cumlaude setelah lulus itu di kerja'a perkantoran, kalau sarjana males itu jadi enterpreneur, tau deh, bener atau kagak, tapi kalau dipikir-pikir bener juga sih :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. aah temen saya males kuliah malah hampir DO...
      :P

      Delete
  9. wahh saya ga jadi sarjana sob ... yang saya tau banyak sarjana tapi tetep nganggur :D ngandelin kerja di perusahaan...

    ReplyDelete
    Replies
    1. hahaa...
      gmn kalo bikin perusahaan saja yuks...
      :)

      Delete
  10. bahas sarjana ye? wah ane masih diploma e :D

    ReplyDelete
  11. Artikelnya keren banget. Ngena.

    Yang salah tidak sepenuhnya sarjananya, tapi sistem yang sedemikian rupa sudah terbentuk dan mengarahkan lulusan-lulusan, bahkan sedari kuliah, bahkan saat memilih jurusan dan tempat kuliah, bahwa tujuan kuliah adalah mencari kerja. Bukan menciptakan lapangan kerja, terlebih membangun daerahnya.

    Untungnya, aku gak termasuk :) Lebih baik menjadi bos di perusahaan kecil milik sendiri daripada menjadi anak buah di perusahaan sebesar apapun!

    Dan, yuk! Ikut berperan memajukan daerah-daerah tertinggal di sudut-sudut negeri ini :D



    ReplyDelete
    Replies
    1. setuju sama kamu, mas.... aku juga kadang2 suka jengkel sama anggapan 'bukan pekerjaan namanya kalau nggak jadi pegawai/karyawan'

      zzz...

      padahal di negara manapun, pekerjaan tuh ada juga yang gak pergi pagi-pulang sore, kerja dalam kantor, ataupun terima gaji di awal bulan... pantes aja pengangguran nambah banyak... -_-

      Delete
    2. ayoooks.......
      :)

      mantabh deh...

      Delete
  12. kalo saya bukan bangga menjadi sarjana, tapi bersyukur. Bisa menunaikan kewajiban kepada orang tua karena tidak menyia nyiakan uang mereka untuk membiayai kuliah saya. dan membuktikan kalau saya bisa. serta gelar ini serta ilmu yang saya peroleh selama ini ga akan sia - sia dan akan digunakan untuk diri sendiri serta orang lain :D

    ReplyDelete
  13. sarjana itu bukan sekedar status pada hakikatnya tapi sebuah tanggung jawab dan amanah. Mengenai bekerja atau tidak seorang sarjana bukan karena gelarnya tersebut tapi kualitas dari individu yang bersangkutan :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. hmmmm.....
      kualitas....
      jd sarjana blm tentu berkualitas ya...??
      :P

      Delete
  14. kalau saya mah cuma lulusan D1 saja mas, pantas nggak yah di sebut sarjana

    ReplyDelete
  15. Hallo, saya Sartika Dian, seseorang yang pernah menulis artikel yang diposting dalam blog kamu..Trims ya, udah sharing dan menyukai tulisan saya...

    Saya menyimak opini publik yang berkomentar. Dan buat yang kepengen share lebih, bisa add facebook aku dengan searching namaku.
    Dan sekadar promo, aku menerbitkan sebuah buku kumpulan puisi berjudul SOUNDS OF PSYCHE (bunyi-bunyi jiwa). Bisa di search juga via google, kalo minat beli.

    thank you

    ReplyDelete
  16. hallo semua, saya Sartika Dian Nuraini, seorang yang menulis artikel itu di Kompas. Saya menyimak terus opini publik di atas. Thanks buat yang membagi dan menyukai esai saya ya.
    Klo pengen share lebih lanjut, bisa add fb saya dan hubungi email saya. Dan surprisenya, saya baru-baru ini menerbitkan buku berjudul Sounds of Psyche (Bunyi-bunyi Jiwa), bagi yang berkenan membeli, saya persilakan search di google dan beli di online store yang mendistribusikannya.

    thank you,

    ReplyDelete

silahkan berkomentar, tidak dipungut biaya..! apabila ada kata yang salah dalam hal deskripsi apa pun tentang isi dari postingan zonesa.blogspot.com, mohon kritik dan sarannya agar lebih baik. terimakasih dan salam hangat. Sehangat pelukan pasangan Anda.