Sumber |
Beberapa waktu yang lalu
saya membaca sebuah artikel dan tertarik dengan artikel tersebut. Artiekal
tersebuat membahas mengenai hakikat dari seorang sarjana. Artikel tersebut
dipersembahkan oleh SARTIKA DIAN NURAINI. Saya tidak mengenal
beliau dan saya berharap beliau tidak marah saya menampilkan artikelnya di blog
saya (seandainya beliau marah, tolong kasih tau saya, saya akan menghapusnya
dari blog saya dan meminta maaf). Saya menampilkan pada blog saya bukan
karena tanpa alasan, saya tertarik dan berniat membaginya dengan pembaca blog
saya. Semoga bermanfaat.
Risalah Sarjana
Sarjana adalah potret
terang di depan kamera. Ia menyungging senyum semringah, memakai toga dan baju
kebesaran, dengan latar belakang lukisan buku-buku berjilid klasik yang sangat
jarang ada di Indonesia, ditambahi kehangatan senyum anggota keluarga. Foto itu
kelak adalah tanda sejarah yang meneguhkan keberadaan hingga prestise
seseorang, bahkan seluruh keluarganya. Klik!
Kesarjanaan adalah
perayaan kerumunan dan keramaian, pengeras suara, acara makan bersama, dan doa.
Dalam proses pengesahan seorang sarjana dalam wisuda. Kegirangan dan keceriaan
dengan mengabsenkan keheningan dan kekhusyukan. Perayaan kesarjanaan bukan
perayaan literasi.
Kata-kata tidak lagi
menjadi pengesahan kesarjanaan sebagai bentuk sumbangan pemikiran bagi
peradaban. Setiap tahun, ribuan orang boleh saja ditahbiskan menjadi sarjana,
tetapi sungguh sangat sedikit yang akan meninggalkan kata-kata yang berharga
hasil permenungan, pengendapan dalam pikiran, dan kegelisahan intelektualitas
kesarjanaan. Tak ada tagihan moral dan akademis tentang keilmuan,
intelektualitas, kecendekiaan, serta kemanusiaan yang bersifat sosial, politik,
pendidikan, dan budaya.
Manusia ekonomistik
Sebagai gantinya,
menjadi sarjana adalah menjadi manusia ekonomistik. Sarjana adalah manusia
pencari dan pencetak uang bagi keluarga, masyarakat, dan negara. Maka,
pengesahan dilakukan dengan mencari kerja. Pengukuhan seseorang menjadi sarjana
disempurnakan dengan menjadi pekerja. Kutukan seorang sarjana jika dirinya
menganggur. Orangtua, lembaga pendidikan, masyarakat, dan negara akan menagih
seorang sarjana untuk cepat-cepat menjadi manusia pencari kerja. Maka, para
sarjana bergerak dan berjejal menjadi manusia pelamar kerja dalam bursa kerja.
Dalam kerumunan di bursa
kerja ini, tak perlu lagi membedakan latar belakang studi sastra, teknik,
politik, sejarah, dan lain-lain. Tak penting ilmu yang mereka pelajari di
kampus selama beberapa tahun, toh perusahaan juga sadar bahwa sarjana itu harus
dididik lagi agar sesuai dengan dunia kerja.
Di Indonesia, menjadi
sarjana adalah menjadi manusia kota dan menjadi manusia kantoran. Dalam
imajinasi mereka, sarjana adalah manusia tanpa keringat, manusia yang enggan
melipatkan lengan baju ke atas, manusia yang enggan menyentuh tanah.
Biografi sarjana
Indonesia mengesankan bahwa menjadi sarjana adalah manusia yang enggan pulang
membangun tempat asalnya. Soedjatmoko (1972) pernah mengatakan, ”Lulusan
universitas-universitas di Indonesia makin lama makin berorientasi pada
kota-kota. Harapan mereka tentang karier, tingkat hidup, serta gaya hidup
seolah-olah terikat pada kota. Padahal, sudah menjadi terang bahwa sebagian
kemampuan kita harus kita memanfaatkan tidak hanya untuk memperluas sektor
modern, tetapi juga untuk menggairahkan kembali dan memperkuat kehidupan di
desa-desa.”
Masuk perguruan tinggi
adalah jalan meninggalkan desa-desa dengan menjadi manusia kantor mewarisi rasa
elite-birokrat yang priayi.
Namun, saat bekerja,
sebagian besar makna kerja perlahan mulai menghilangkan rasa kemanusiaan,
keilmuan, religiusitas. Semua hal yang sakral dan vital itu akan terpinggirkan
oleh pamrih uang dan gengsi sosial. Kerja yang merakyat dianggap merendahkan.
Mereka alpa makna bekerja.
Kehilangan martabat
Makna pendidikan dalam
bekerja terasa kabur dan dangkal. Latar belakang dan jenjang pendidikan di
Indonesia sepertinya sudah tidak memartabatkan.
Kita telah kehilangan
figur sarjana dalam arti keilmuan dan pengabdian sebagai laku kesarjanaan.
Suluh dan risalah pemartabatan manusia menguap dalam mentalitas dan etos
kesarjanaan yang kian memudar dan buram. Sarjana kini adalah hamba ekonomi dan
bisa melakukan apa pun untuk memenuhinya, menjual martabat ilmu, menggadaikan
kemanusiaan, dan mengubur etos belajar.
Saya teringat sajak Agus
R Sarjono berjudul Sajak Palsu yang ditulis tahun 1998: ”Masa sekolah demi masa
sekolah berlalu, mereka pun lahir sebagai ekonom-ekonom palsu, ahli hukum
palsu, ahli pertanian palsu, insinyur palsu, sebagian menjadi guru, ilmuwan
atau seniman palsu.” Sarjana semestinya bermartabat!
Setelah membaca artikel di
atas, marilah merenungkan hakikat sarjana. Sarjana adalah penjunjung tinggi
ilmu dan pengabdian. Selain itu sarjana adalah manusia-manusia terpelajar yang
siap berkarya dan bekerja. Sebuah kesia-siaan seandainya sarjana namun tidak
bisa berkarya atau pun bekerja. Salam hangat untuk para sarjana, kalian adalah
terbaik, paling tidak kalian siap melakukan yang terbaik untuk diri sendiri,
keluarga, bangsa, agama, nusa dan bangsa. Jangan sampai kalian menjadi
sarjana-sarjana palsu.
Sarjana sekarang hanya digunakan untuk memperoleh jabatan semata. Itu fakta sob, soalnya temenku bilang juga hanya untuk cari jabatan di perusahaan tempat dia bekerja.
ReplyDeletecoba kalau sarjana bisa menggunakan ilmunya untuk membangun desa. pasti makmur kehidupan orang desa. arus urbanisasi juga bisa di kurangi.
itu adalah akibat dari pengaruh gemerlapnya kota, bayangkan saja 3 1/2 tahun mereka menuntut ilmu di kota...betapa besar pengaruh kota yang mereka terima, dan jangan salahkan kalau mereka sudah enggan kembali ke kampung asalnya... yang mereka anggap tidak seramai kota tempat mereka kuliah :)
Deleteyaaah kalo balik ke desa dan bikin desa jadi kayak kota ya mas...
Delete:)
ah pengaruh kota mah ya gitu2 aja kok..
Delete:p
aku sendiri ga silau sama gelar sarjana
ReplyDeleteapalagi saya....
Delete:P
Pakde-ku namanya Sarjono, bukan sarjana tapi sampai tua tetap saja bekerja. sementara banyak teman-ku mengaku sarjana tapi nganggur tak tahu harus mengerjakan apa
ReplyDeletesarjono mungkin bisa jadi sarjana...
Delete:)
hy,km daapet award dari aku tuh
ReplyDelete:D
liat di postinganku yaa
okke....
Deletesaya kesana..
:)
thanks ya...
jaid ngerasa di bg, jadi serjana untuk nunggu kerja, tapi rencananya mau bikin lapanagan kerjaan., sedang berusaha ...
ReplyDeleteserjana bukan petaka
sarjana ya sarjana...
Deleteya sarjana...
langsung 3A..
:P
o gitu ya, terus entar kamu mau jadi sarjana yang kayak apa?
ReplyDeletekayak apa ya..
Deletekasih tau gak ya..
:P
Sepakat... aku juga berpendapat tulisan Sartika di atas benar2 menarik utk dikaji.
ReplyDeleteDia telah berhasil memotret tentang kondisi "sarjana" saat ini
Makasih sudah share disini jadi aku bisa ikutan baca :D
okke...
Delete;)
kalau kata Bos dikantor dulu, sebelum resign. Tempat'a sarjana cumlaude setelah lulus itu di kerja'a perkantoran, kalau sarjana males itu jadi enterpreneur, tau deh, bener atau kagak, tapi kalau dipikir-pikir bener juga sih :)
ReplyDeleteaah temen saya males kuliah malah hampir DO...
Delete:P
wahh saya ga jadi sarjana sob ... yang saya tau banyak sarjana tapi tetep nganggur :D ngandelin kerja di perusahaan...
ReplyDeletehahaa...
Deletegmn kalo bikin perusahaan saja yuks...
:)
bahas sarjana ye? wah ane masih diploma e :D
ReplyDeletehahhaaa.....
Deleteapalagi saya?
Artikelnya keren banget. Ngena.
ReplyDeleteYang salah tidak sepenuhnya sarjananya, tapi sistem yang sedemikian rupa sudah terbentuk dan mengarahkan lulusan-lulusan, bahkan sedari kuliah, bahkan saat memilih jurusan dan tempat kuliah, bahwa tujuan kuliah adalah mencari kerja. Bukan menciptakan lapangan kerja, terlebih membangun daerahnya.
Untungnya, aku gak termasuk :) Lebih baik menjadi bos di perusahaan kecil milik sendiri daripada menjadi anak buah di perusahaan sebesar apapun!
Dan, yuk! Ikut berperan memajukan daerah-daerah tertinggal di sudut-sudut negeri ini :D
setuju sama kamu, mas.... aku juga kadang2 suka jengkel sama anggapan 'bukan pekerjaan namanya kalau nggak jadi pegawai/karyawan'
Deletezzz...
padahal di negara manapun, pekerjaan tuh ada juga yang gak pergi pagi-pulang sore, kerja dalam kantor, ataupun terima gaji di awal bulan... pantes aja pengangguran nambah banyak... -_-
ayoooks.......
Delete:)
mantabh deh...
josss buat mas nuel...
Delete:)
kalo saya bukan bangga menjadi sarjana, tapi bersyukur. Bisa menunaikan kewajiban kepada orang tua karena tidak menyia nyiakan uang mereka untuk membiayai kuliah saya. dan membuktikan kalau saya bisa. serta gelar ini serta ilmu yang saya peroleh selama ini ga akan sia - sia dan akan digunakan untuk diri sendiri serta orang lain :D
ReplyDeleteamiiin...
Delete:)
good luck
sarjana itu bukan sekedar status pada hakikatnya tapi sebuah tanggung jawab dan amanah. Mengenai bekerja atau tidak seorang sarjana bukan karena gelarnya tersebut tapi kualitas dari individu yang bersangkutan :)
ReplyDeletehmmmm.....
Deletekualitas....
jd sarjana blm tentu berkualitas ya...??
:P
kalau saya mah cuma lulusan D1 saja mas, pantas nggak yah di sebut sarjana
ReplyDeleteD1 apa mas...??
DeleteHallo, saya Sartika Dian, seseorang yang pernah menulis artikel yang diposting dalam blog kamu..Trims ya, udah sharing dan menyukai tulisan saya...
ReplyDeleteSaya menyimak opini publik yang berkomentar. Dan buat yang kepengen share lebih, bisa add facebook aku dengan searching namaku.
Dan sekadar promo, aku menerbitkan sebuah buku kumpulan puisi berjudul SOUNDS OF PSYCHE (bunyi-bunyi jiwa). Bisa di search juga via google, kalo minat beli.
thank you
hallo semua, saya Sartika Dian Nuraini, seorang yang menulis artikel itu di Kompas. Saya menyimak terus opini publik di atas. Thanks buat yang membagi dan menyukai esai saya ya.
ReplyDeleteKlo pengen share lebih lanjut, bisa add fb saya dan hubungi email saya. Dan surprisenya, saya baru-baru ini menerbitkan buku berjudul Sounds of Psyche (Bunyi-bunyi Jiwa), bagi yang berkenan membeli, saya persilakan search di google dan beli di online store yang mendistribusikannya.
thank you,