Tuesday 27 September 2011

Catatan Harian Seorang Mafia Pajak (part I)





Ada sebuah surat atau note yang nangkring di facebook pada group PD I Kepabeanan dan Cukai Angkatan XVII. Ditulis oleh Heri Prabowo, alumnus STAN. Dia menulis sebuah surat yang ditujukan untuk gayus, yang notabene adalah adik kelas mas Heri Prabowo si penulis. 


Saya juga lulusan STAN dan saya bangga mengatakan saya adalah lulusan STAN (insya allah lulus tahun ini) karena STAN menurut saya adalah sekolah tinggi yang sangat diharapkan oleh kebanyakan orang indonesia dan kaum marjinal termasuk saya walaupun terkotori oleh lumpur tambunan namun saya yakin lumpur itu akan dibersihkan oleh generasi selanjutnya dan kembali bersih dan bersinar kembali. amiiinn.....


Jika anda ingin tahu betapa disiplin dan ketatnya persaingan belajar di STAN,  Anda bisa melihat sekian ribu pendaftar USM yang berminat. Sistem DO adalah harga mati untuk mahasiswa yang tidak berpotensi dalam hal akademik tentunya.

Oke mari langsung simak pesan mas Heri Prabowo untuk Gayus Tambunan.

UNTUK ADIK KELASKU, GAYUS
Oleh HERI PRABOWO (Alumnus STAN 1996, penulis buku Catatan Harian Seorang Mafia Pajak)
Ada anekdot yang beredar saat reuni akbar Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN-Prodip) pada Oktober 2010. Yakni, anekdot tentang pemberian award untuk sejumlah alumnus dengan berbagai kategori.  Kategori tersukses jatuh kepada Hadi Purnomo, Ketua BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Kategori karir tercepat diperuntukkan Haryono Umar, wakil  ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Kategori terkontroversial  jatuh kepada M. Misbakhun, anggota DPR, inisiator hak angket Bank Century yang akhirnya jadi tersangka kasus yang sama. Sedangkan kategori terpopuler dipegang Gayus Tambunan. Dia menyingkarkan Helmi Yahya yang jadi selebriti top. Gayus bahkan lebih populer daripada bosnya, M. Tjiptardjo, Dirjen Pajak yang juga alumnus STAN. Memiliki sejumlah kesamaan dengan tokoh populer ternyata cukup menggelitik hati saya. Ada beberapa kesamaan saya dengan Gayus. Sama-sama alumnus STAN-Prodip yang lantas terjerembap mafia pajak dan berujung menghadapi proses hukum.

Di usia yang sama, 30 tahun. Usia yang seharusnya kita mulai untuk menapak puncak karir, tapi justru kami terperosok dalam. Saya tidak seberuntung Gayus, yang masih kaya walau hartanya Rp 100 miliar disita. Tapi Gayus juga tidak seberuntung saya. Dia bersusah payah merintis karir di luar Jawa, sedangkan saya sejak awal ditempatkan di kota besar (Surabaya). Muda, berduit dan berkuasa. Itulah gambaran untuk kami, para mafia pajak. Meski hanya pegawai rendahan, toh kami berperan besar atas urusan pajak sejumlah perusahaan. Sebab, kami punya lobi. Bisa dibayangkan betapa kami sering memandang kecil sebuah masalah. Sembrono dan ugal-ugalan. Bahkan saat kami telah ditahan, saya ikut mencicipi fasilitas lebih di tahanan. Walau tidak seekslusif Tante Ayin (Artalyta Suryani) dan kawan kawan, fasilitas itu juga dinikmati pejabat tinggi, politisi, dan orang-orang kaya yang ditahan disana. Saya berbangga. Saya bisa selevel dengan mereka. Kebanggaan yang semu di tengah hujan cercaan. Tidak heran Gayus dengan enteng keluar masuk rutan. Toh, tahanan lain yang jabatannya jauh di atasnya melakukan hal serupa. Saya yakin bahwa Gayus pun bangga melakukannya. Padahal, dia bukan mereka. Uang boleh sama, tapi mereka cerdik, berpengalaman dan punya network luas. Gayus boleh bernyanyi, tapi mereka sekejap tiarap, lalu tertawa lagi. Dengan latar belakang kurang beruntung secara ekonomi dan broken home, Gayus telah berjuang untuk menjadi bernilai lebih.

Tidak mudah bisa duduk jadi mahasiswa STAN. Tidak mudah juga bisa lulus. Sebab, berlaku sistem DO (dropout) yang ketat. Kampus dipenuhi mahasiswa dari golongan menengah ke bawah. Kebanyakan di antara mereka berasal dari desa-desa. Kesederhanaan selalu tampak. Jangan heran jika ada seorang asisten dosen berangkat ke kampus dengan naik sepeda mini yang juga cocok untuk anaknya. Kampus juga menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran dan religiusitas. Masjid-masjid tidak hanya dipenuhi mahasiswa sejak azan Subuh berkumandang. Tempat itu juga dimakmurkan oleh berbagai kegiatan agama. Mulai mengajar TPA (taman  pendidikan Alquran) hingga diskusi keagamaan, semuanya dimotori mahasiswa STAN. Lalu kenapa saya dan Gayus bisa lahir? Lalu, mengapa kami bisa jadi pecinta kemewahan? Pengaruh dimulai saat bertemu dengan para senior yang telah bekerja. Bertemu dengan rekan kerja dan atasan saat bekerja. Dengan gambling, mereka gambarkan tempat basah dan tempat kering. Dengan nyata, mereka jadi orang kaya baru. Semua terjadi begitu terbuka dan aman-aman saja. Hanya segelintir yang bisa bertahan dengan idealisme masing-masing. Sisanya lagi miskin karena tidak memperoleh kesempatan.
  
Saat lulus STAN pada tahun 2000, Gayus berjibaku di lahan kering Kalimantan. Setiap mudik ke Jakarta, dia dan rekan-rekan lain ngiler kala melihat teman-teman seangkatannya begitu makmur. Membeli mobil seperti membeli gorengan. Jakarta adalah surga para mafia pajak. Perusahaan besar walau berkantor di daerah harus melaporkan pajak ke Jakarta. Besarnya putaran uang berbanding lurus dengan gemuknya gurita korupsi. Maka, saat bertugas di Jakarta, Gayus tidak menyia-nyiakan  kesempatan. Gayus hanya mencontoh apa yang dilihat sehari-hari di kantornya. Dia beruntung. Puluhan miliar rupiah dia kumpulkan dalam sekejap. Keserakahan yang ada dalam diri manusia pada umumnya, tapi tidak manusiawi. Gayus pasti juga mendengar gosip yang pernah saya dengar. Yakni, sejumlah pejabat pajak pernah diperiksa karena menerima aliran dana tidak wajar di rekening dan umumnya mereka aman-aman saja. Maka, wajar Gayus percaya diri. Tapi, takdir bicara lain. Dia diadili lagi dengan tumpukan dakwaan, Seakan hanya dialah mafia pajak di negeri ini. Pada masa genderang perang melawan korupsi ditabuh siapa pun, termasuk para mafia hukum dan koruptor, wajar tekanan media menghantam.  Wajar olok-olok sarkastis menghajar bukan hanya kami, tapi juga keluarga. Bahkan, anak-anak yang masih suci. Stres sehingga berujung linangan air mata. Kejengkelan muncul saat para bos, mafia-mafia besar justru nyaris tidak tersentuh hukum. Gayus lantas bermanuver, bernyanyi. Banyak pihak ikut menabuh gendang untuk menggiringnya.
  
Banyak pihak ikut bising mendengarnya. Saat nyanyian tidak lagi merdu, Gayus bagai pion yang digerakkan untuk menjepit raja para lawan. Gerakan pion hanyalah bagian kecil dari manuver untuk langkah utama, skakmat! Orang tidak peduli jika pion akhirnya tersungkur dari papan catur. Gayus, adik kelasku!  Hadapilah sidang dengan hati baja. Ketakutan adalah hal wajar. Maka, berjalanlah hingga ujung papan catur. Ubah dirimu. Berhentilah jadi pion. Walaupun, tidak mungkin jadi raja. Bahkan, keadilan mungkin tidak berpihak kepadamu. Mungkin para raja, menteri dan lainnya melenggang dengan tidak tersentuh hukum. Biarlah Tuhan yang menghukum mereka. Kelak ada hikmah dari semua masalah itu. Apa yang terjadi kepadamu bukanlah cobaan Tuhan. Sebab, itu berawal dari kesalahan kita. Meskipun kini engkau merasa menjadi kambing hitam. Jika saya boleh memberikan nasihat, ceritakanlah kepada dunia setelanjang mungkin. Mengapa terjerembap dalam mafia pajak. Bagaimana caranya, metodenya, siapa saja teman-temannya. Dengan demikian, hal tersebut jadi bahan pembelajaran bagi aparat hukum, adik-adik kelas kita sealmamater, serta pegawai-pegawai pajak yang baru berkarir. Adakal nya kita terpeleset karena kebegoan kita. Tapi, juga selalu ada kesempatan untuk kembali bangkit. [end] 

yang berminat bisa pesan disini.
semoga mas Heri diberi kesabaran dan ketabahan untuk kembali ke jalan yang lurus. amiin. :)

23 comments:

  1. andai ku gayus tambunan,love,peace and gaul.

    ReplyDelete
  2. setiap pekerjaan amalnya tergantung dari niat, niat gayus jadi petugas pajak apa?

    kalau niatnya sudah salah yah begitulah

    ReplyDelete
  3. Indonesia miris...... sedih kalau gini terus, banyak koruptor *apaan ya?* haha

    ReplyDelete
  4. smoga anda tdk seperti gayus sob,,sy dukung ,,apa yg kamu harapkan ttg aparat pajak yg bersih..

    ReplyDelete
  5. Iya ya, saya dengar dari teman saya juga begitu, katanya kalo IP kurang dari batas yang diharapkan, langsung DO... keras sekali persaingan di sana.. :(

    ReplyDelete
  6. Mikirin gayus ntar malah pusing. Hehe

    ReplyDelete
  7. Mikirin gayus ntar malah pusing. Hehe

    ReplyDelete
  8. wah mas sarya pengen jadi gayus ni rupanya...
    :)

    mas r10, jangan langsung menuduh niat gayus,,coba baca dulu buku catatan harian seorang mafia pajak dulu baru anda akan mengerti mengapa mereka menjadi korupstor...?? dan siapakah yg mengajarinya..?? apakah gayus hany seorang diri atau yang lainnya.....

    emang ironis kok mas reza...
    :)

    ReplyDelete
  9. terimakasih mas kahfi...semoga saya terhindar dari hal-hal yg buruk itu....doaka saya.. :)


    saya gak mikirin gayus kok mbak tarry.... saya mikirin ibu saya kok...
    :)

    iya mas asop,,gak ada basa-basi.....
    :)

    ReplyDelete
  10. jadi ingat jaman smea dulu, teman2 berlomba masuk akuntansi dan berharap melanjutkan ke stan, tapi entah mengapa saya yang nilai matematikanya waktu itu bisa diandalkan untuk masuk akuntansi lebih memilih manajemen. orang ribut stan pun saya menertawakan, dan sampai sekarang saya tak pernah berandai-andai berada di sekolah tinggi satu itu. mungkin karena saya orang merdeka

    ReplyDelete
  11. semoga generasi mendatang semakin terbuka mata hati bahwa, uang yang kita dapat semua ada pertanggungjawabannya, darimana, bagaimana caranya dan untuk apa digunakan.
    ngeri kan kalo harta kita dapatkan dengan jalan yang tidak benar

    ReplyDelete
  12. bagus kali catatannya.. saya hanya mengerti dengan catatan ini saja, selebihnya saya sama sekali tutup mata dengan mafia pajak dan embel2nya, gk ngerti soalnya..

    saya bantu do'a aja Has, semoga tahun ini bisa lulus dari STAN.. :)

    ReplyDelete
  13. hmmm, politik politik.. saya baru tau ada catatan ini..

    ReplyDelete
  14. semua ada jalannya lho mas Vip....
    :)


    iya mas djangan pakies...
    semoga allah selalu melidungi saya...
    :)

    ReplyDelete
  15. amin bak dhenok...
    makasih doanya...
    :)


    mbak meutia bisa baca jg kok....
    harga bukunya cm 33ribu...
    beli nline bisa ...
    :)

    ReplyDelete
  16. Wow...! Luar biasa... tulisan yang "blokosuto", tapi saya yakin, yang ditangkap hanyalah kelas teri. Kakap dan paus-nya masih bebeas beraksi di mana-mana...!

    ReplyDelete
  17. sepertinya begitu cah ndeso.....
    seperti ygsaya tangkap di dalam bukunya itu...
    :)

    ReplyDelete
  18. wuah saya baru tau kalo persaingan di stan luar biasa ketat.... berarti kamu IP nya di atas 3 mulu dong.. wuah wuah wuah.... :D

    ReplyDelete
  19. kalo saya karena cm 1 tahun IP ya di atas 3 donk...
    tp kalo grafik IP menurun sih....
    gara-garanya cepat berpuas diri....
    :p

    ReplyDelete
  20. aku juga udah baca tuh mas bukunya hehehe
    ceritanya bikin greget

    ReplyDelete

silahkan berkomentar, tidak dipungut biaya..! apabila ada kata yang salah dalam hal deskripsi apa pun tentang isi dari postingan zonesa.blogspot.com, mohon kritik dan sarannya agar lebih baik. terimakasih dan salam hangat. Sehangat pelukan pasangan Anda.