SUMBER |
Ini adalah sebuah cerita dari negara Naruto dan
Doraemon tentang pendidikan dasar seorang anak. Diawali dari “open school” di
sekolah SDN di Tokyo dimana anak pencerita tersebut sekolah. Sekolah tersebut
tidak memungut biaya alias gratis. Pada kesempatan “open School” tersebut para
orang tua diajak melihat bagaimana anak-anak di Jepang belajar. Dan ini sangat
menarik bagaimana bangsa Jepang mendidik anak-anaknya. Dapat dilihat dari
ketangguhan masyarakat Jepang saat gempa bumi dan tsunami mengoya Jepang. Dapat
dilihat bagaimana mereka tetap memperhatikan kepentingan orang lain di saat
kritis dan bagaimana memelihara keteraturan dalam berbagai aspek kehidupan.
Fenomena ini tidaklah mungkin terjadi “by default” namun pasti “by design”. Ada
suatu proses pembelajaran pembetukan karakter yang dilakukan terus menerus oleh
masyarakat Jepang.
Saat “open school” tersebut ada satu
pembelajaran, bahwa pendidikan dasar di Jepang lebih menitikberatkan pada “moral”.
Moral sengaja ditanamkan kepada anak-anak di Jepang. Bahkan ada satu pelajaran
khusus mengenai moral yang diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Sejak masa lampau, tiga agama utama di Jepang, Shinto, Buddha, dan Confusianisme, serta spirit samurai dan bushido, memberi landasan bagi pembentukan moral bangsa Jepang. Filosofi yang diajarkan adalah bagaimana menaklukan diri sendiri demi kepentingan yang lebih luas. Dan filosofi ini sangat memengaruhi serta menjadi inti dari sistem nilai di Jepang.
Anak-anak diajarkan untuk memiliki harga diri, rasa malu, dan jujur. Mereka juga dididik untuk menghargai sistem nilai, bukan materi atau harta. Bisa dilihat bagaimana pejabat di Jepang yang menyimpang dan kurang bisa memberikan kemajuan bagi negaranya tanpa rasa malu mengundurkan diri bahkan ada yang sampai bunuh diri.
Di sekolah dasar, anak-anak diajarkan sistem nilai moral melalui empat aspek, yaitu Menghargai Diri Sendiri (Regarding Self), Menghargai Orang Lain (Relation to Others), Menghargai Lingkungan dan Keindahan (Relation to Nature & the Sublime), serta menghargai kelompok dan komunitas (Relation to Group & Society). Keempatnya diajarkan dan ditanamkan pada setiap anak sehingga membentuk perilaku mereka.
Pendidikan di SD Jepang selalu menanamkan pada anak-anak bahwa hidup tidak bisa semaunya sendiri, terutama dalam bermasyarakat. Mereka perlu memerhatikan orang lain, lingkungan, dan kelompok sosial. Tak heran kalau kita melihat dalam realitanya, masyarakat di Jepang saling menghargai. Di kendaraan umum, jalan raya, maupun bermasyarakat, mereka saling memperhatikan kepentingan orang lain. Rupanya hal ini telah ditanamkan sejak mereka berada di tingkat pendidikan dasar.
Empat kali dalam seminggu, anak saya kebagian melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Ia harus membersihkan dan menyikat WC, menyapu dapur, dan mengepel lantai. Setiap anak di Jepang, tanpa kecuali, harus melakukan pekerjaan-pekerjaan itu. Akibatnya mereka bisa lebih mandiri dan menghormati orang lain. Tidak heran dan pantas bahwa di Jepang tidak perlu adipura karena merea sadar akan yang namanya kebersihan.
Kebersahajaan juga diajarkan dan ditanamkan
pada anak-anak sejak dini. Nilai moral jauh lebih penting dari nilai materi.
Mereka hampir tidak pernah menunjukkan atau bicara tentang materi.
Anak-anak di SD Jepang tidak ada yang membawa handphone, ataupun barang berharga. Berbicara tentang materi adalah hal yang memalukan dan dianggap rendah di Jepang.
Anak-anak di SD Jepang tidak ada yang membawa handphone, ataupun barang berharga. Berbicara tentang materi adalah hal yang memalukan dan dianggap rendah di Jepang.
Keselarasan antara pendidikan di sekolah dengan nilai-nilai yang ditanamkan di rumah dan masyarakat juga penting. Apabila anak di sekolah membersihkan WC, maka otomatis itu juga dikerjakan di rumah. Apabila anak di sekolah bersahaja, maka orang tua di rumah juga mencontohkan kebersahajaan. Hal ini menjadikan moral lebih mudah tertanam dan terpateri di anak.
Dengan kata lain, orang tua tidak “membongkar” apa yang diajarkan di sekolah oleh guru. Mereka justru mempertajam nilai-nilai itu dalam keseharian sang anak.
Saat makan siang tiba, anak-anak merapikan meja untuk digunakan makan siang bersama di kelas. Yang mengagetkan saya adalah, makan siang itu dilayani oleh mereka sendiri secara bergiliran. Beberapa anak pergi ke dapur umum sekolah untuk mengambil trolley makanan dan minuman. Kemudian mereka melayani teman-temannya dengan mengambilkan makanan dan menyajikan minuman.
Hal seperti ini menanamkan nilai pada anak tentang pentingnya melayani orang lain. Apabila anak-anak terbiasa melayani, sekiranya nanti menjadi pejabat publik, pasti nalurinya melayani masyarakat, bukan malah minta dilayani.
Saya sendiri bukan seorang ahli pendidikan ataupun seorang pendidik. Namun sebagai orang tua yang kemarin kebetulan melihat sistem pendidikan dasar di SD Negeri Jepang, saya tercenung. Mata pelajaran yang menurut saya “berat” dan kerap di-“paksa” harus hafal di SD kita, tidak terlihat di sini. Satu-satunya hafalan yang saya pikir cukup berat hanyalah huruf Kanji.
Sementara, selebihnya adalah penanaman nilai.
Besarnya kekuatan industri Jepang, majunya perekonomian, teknologi canggih, hanyalah ujung yang terlihat dari negeri Jepang. Di balik itu semua ada sebuah perjuangan panjang dalam membentuk budaya dan karakter. Ibarat pohon besar yang dahan dan rantingnya banyak, asalnya tetap dari satu petak akar. Dan akar itu, saya pikir adalah pendidikan dasar.
Sistem pendidikan Jepang seperti di atas tadi, berlaku seragam di seluruh sekolah. Apa yang ditanamkan, apa yang diajarkan, merata di semua sekolah hingga pelosok negeri. Mungkin di negeri kita banyak juga sekolah yang mengajarkan pembentukan karakter. Ada sekolah mahal yang bagus. Namun selama dilakukan terpisah-terpisah, bukan sebagai sistem nasional, anak akan mengalami kebingungan dalam kehidupan nyata. Apalagi kalau sekolah mahal sudah menjadi bagian dari mencari gengsi, maka satu nilai moral sudah berkurang di sana.
Di Jepang, masalah pendidikan ditangani oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Olah Raga, dan Ilmu Pengetahuan Jepang (MEXT) atau disebut dengan Monkasho. Pemerintah Jepang mensentralisir pendidikan dan mengatur proses didik anak-anak di Jepang. MEXT menyadari bahwa pendidikan tak dapat dipisahkan dari kebudayaan, karena dalam proses pendidikan, anak diajarkan budaya dan nilai-nilai moral.
Mudah-mudahan dikeluarkannya kata “Budaya” dari Departemen “Pendidikan dan Kebudayaan” sehingga “hanya” menjadi Departemen “Pendidikan Nasional” di negeri kita, bukan berarti bahwa pendidikan kita mulai melupakan “Budaya”, yang di dalamnya mencakup moral dan budi pekerti.
Hakikat pendidikan dasar adalah juga membentuk budaya, moral, dan budi pekerti, bukan sekedar menjadikan anak-anak kita pintar dan otaknya menguasai ilmu teknologi. Apabila halnya demikian, kita tak perlu heran kalau masih melihat banyak orang pintar dan otaknya cerdas, namun miskin moral dan budi pekerti. Mungkin kita terlewat untuk menginternalisasi nilai-nilai moral saat SD dulu. Mungkin waktu kita saat itu tersita untuk menghafal ilmu-ilmu “penting” lainnya.
Semoga negara ini bisa seperti Jepang. Macan
ASIA.
Sebuah catatan dari seorang yang tinggal di
Jepang. Maaf lupa linknya.
negara kita jadi macan asia? kayaknya kita malah jadi kerbau asia saja tak pantas... lagipula kalo anak sekolah di sini saat sekolah disuruh bersih-bersih wc bisa-bisa orang tuanya akan meminta kepala sekolahnya dipecat
ReplyDeletehahhaaa.....
Deleteanak sekarang malas-malas...
mereka kayak gak punya kemandirian hanya buat mengurus diri mereka sendiri....
saya aneh dengan orangtua jaman sekarang....
#freak...
harusnya pemerintah indonesia belajar dari jepang. Pemimpinnya aja kalau nggak bisa memajukan bangsa dengan tegas mengundurkan diri. Pendidikannya juga mengarah ke moral bukan nilai kayak di indonesia.
ReplyDeleteYapph bener banget bang Yitno...
DeleteBudaya malu dan bermoral dan berakhlak baik kayaknya perlu ditanamkan sejak dini...
Jepang, memang bangsa yang tangguh... Jatuh tapi segera bangkit...
ReplyDeleteSementara indonesia?
Terus terpuruk... -_-
Kita harus bisa seperti Jepang Bang Nuel...
DeleteMungkin sepuluh, duapuluh atau seratus tahun lagiiii...
:P
kalo di indonesia..pendidikan di rancang untuk bisa membodohi masyarakat :-)
ReplyDeletehahhaaa...
Deletemasak ah mas..?
perasaan saja kaliii....
kita dulu macan asia. dulu...
ReplyDeletesekarang macannya sudah meninggal....
Delete:P
kirain sobat yang di jepang,,,,,
ReplyDeletemoga negaea kita maju,,,,
harus tertanam, kesadaran pada diri sendri
amiiin ya rabbal'alamiiin...
Delete:)
Tau kenapa pendidikan di negara ini ancur? karena tiap ganti mentri ganti kurikulum dan ganti yg diajarin, sorry bukan ngejelekin negara lain nggak ada tuh pelajaran agama, tp coba liat akhlak mereka. di kita? moralnya setelah jadi org nggak ada yg bener... malah terakhir anak2 klo mau masuk SD mesti TK dulu.. itu aturan siapa? emang guru SD nggak mau ngajarin dari awal apa? TK tuh taman kanak-kanan tempat anak2 main, bukan ngapalin A sampe Z 1 sampee 100... ngawur pendidikan dinegri ini
ReplyDeletehhahaa.....
Deletengejar intelgensia tanpa memikirkan sisi moral dan akhlak ya...
:)
indonesia namanya juga tanah surga yang makmur makanya wajar kalo etos kerja dan disiplin manusia manusianya kurang. nancepin batang kayu aja bisa jadi tanaman. mana sempet mikirin kudu kerja keras...
ReplyDeletejadi wajar ya ini semua terjadi ya mas....??
Delete:P