SUMBER |
Ketika ibunya tengah sakit keras dan harus buang hajat di
pembaringan, Dhana tidak tega menggunakan pispot karena menurutnya benda itu
terlalu keras dan nanti bisa menyakiti tulang ibunya. Sebagai gantinya, ia
menengadahkan kedua tangannya dengan beralaskan tisu untuk menampungnya.
***
Ia membuat beberapa orang
yang bergaul dengannya merasa iri. Sebagian berkomentar, lelaki muda itu telah
dekat dengan pintu surga. Beberapa yang lain berpendapat, sungguh beruntung ia
merawat ibunda tercinta dengan kualitas maksimal. Namun, Dhana Widyatmika (33
tahun), putra pertama dari Ibu Sundari (59 tahun) itu hanya berucap, apa yang
ia lakukan biasa-biasa saja.
“Saya tidak pernah merasa ini
sesuatu yang hebat. Saya hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Ini
kewajiban. Saya yakin semua anak juga akan melakukan hal yang sama,” ucapnya.
Ditemui di sela-sela
rutinitasnya menjaga dan menemani sang ibu yang dua kali dalam seminggu harus
cuci darah, Dhana mengisahkan, selama tiga belas tahun ini, ibu menjadi
prioritas utama dalam hidupnya.
Ujian Bertubi-tubi
Semua berawal ketika bulan
Februari 1995, Ibu Sundari divonis gagal ginjal
“Ibu batuk-batuk, mual. Saya
pikir sakit biasa. Waktu dibawa ke rumah sakit, kadar ureumnya di atas 300,
padahal orang normal harus di bawah 40. Artinya racun dalam darah sudah
menumpuk. Jadi harus langsung cuci darah. Saat itu, kadar hemoglobin (Hb) Ibu
hanya 3,4 sehingga harus transfusi darah, padahal ketika itu bulan puasa,
persediaan darah di PMI sangat terbatas sehingga harus mencari donor darahnya,”
terang Dhana yang ketika itu masih duduk di tingkat dua sebuah sekolah tinggi
di Jakarta.
Sesungguhnya rasa duka
kehilangan almarhum ayah dua tahun sebelumnya masih membekas di hati Dhana.
Baginya, kepergian ayah menghadap Sang Maha Kuasa bagaikan kiamat kecil. “Saya
tidak menyangka. Bapak masih gagah, karir sedang posisi menanjak, dan saya baru
masuk kuliah,” kenangnya.
Masih segar dalam ingatannya,
hari ketika ayahnya wafat. Dhana tengah sibuk mencari kaos kaki
warna-warni di jatinegara sebagai salah satu syarat mengikuti ospek di
kampusnya. “Waktu pulang saya lihat orang ramai, ternyata Bapak meninggal.
Sangat mendadak. Saya tidak siap, tapi harus siap. Sebenarnya juga tidak tabah.
Apalagi dua tahun kemudian Ibu menderita sakit berat. Kalau bicara mental
jatuh, ini jatuh yang kedua. Kok belum selesai musibah yang saya alami dua
tahun belakangn ini,” tuturnya.
Kepergian ayah menjadikan
sulung dari dua bersaudara yang baru saja lepas SMA itu berubah menjadi kepala
keluarga. Tak heran jika dialah yang pertama diberitahu dokter tentang
keharusan ibunya untuk cuci darah. Sebuah kabar yang tentu tidak mudah
didengar. “Awalnya Ibu tidak tahu. Ibu pikir hanya sekali cuci darah, setelah
itu sembuh. Dokter panggil saya, katanya ini harus rutin cuci darah. Saya
kepala keluarga dan memang harus menanggung semuanya,” kenangnya.
Dhana sendiri, meski sangat
sedih mendengar kondisi kesehatan ibunya, namun saat itu ia merasa optimis,
penyakit Ibu akan sembuh dan keadaan akan membaik kembali. “Shock, tapi tidak
berpikir bahwa ini tidak bisa sembuh. Saat itu saya tidak menyadari. Dokter
juga tidak bilang secara gamblang kalau tidak bisa sembuh. Tahun pertama belum
merasa bahwa ini akan menjadi rutinitas. Saya anggap nanti akan ada akhir untuk
sembuh,” ujarnya.
Keyakinan bahwa setiap
penyakit pasti ada obatnya menyemangati Dhana dan ibunya untuk tak
henti-hentinya mencari penyembuhan, baik medis maupun obat alternatif.
Sejak 1995 hingga 2004, boleh dibilang semua pengobatan alternatif yang pernah
dilihat di televisi pernah dicoba, namun hingga sekarang, ibunda Dhana tetap
harus cuci darah.
Di awal mendengar vonis gagal
ginjal, Ibu Sundari sempat mengalami masa-masa penolakan dan kesedihan.
Penanganan cepat serta perawatan medis yang sangat memadai memang mampu
mengembalikan kondisi fisiknya, kecuali ginjal. Namun keharusan cuci darah
sangat menguras ketabahannya. Alhasil, di tahun pertama sejak ibunya sakit,
Dhana lebih banyak mengerahkan segenap daya dan usaha untuk membantu mengangkat
moril Sang Ibu.
“Secara fisik ibu agak bagus,
tapi mentalnya down sekali. Setiap habis cuci darah, pulang, balik lagi ke
rumah sakit. Lebih karena psikis. Kadang ada rasa tidak enak di badan, sampai
di rumah sakit diperiksa dokter tidak ada apa-apa. Obatnya cuma istirahat. Ibu
juga sering bertanya, kapan tidak cuci darah lagi,” tuturnya.
Selain stress karena sudah
berusaha berbagai cara tapi tidak juga sembuh, proses cuci darah juga
mengandung bagian yang cukup sakit dan menakutkan. “Ada saatnya Ibu merasa,
ngapain hidup bergnatung mesin terus. Kalau besok mau dicuci sudah stress,
memikirkan akan ditusuk jarum. Sampai sekarang pun Ibu masih selalu kesakitan
waktu ditusuk. Saya sangat sedih melihatnya. Melihat orang yang saya cintai
,menderita, itu menjadi penderitaan juga bagi saya. Tapi saya berusaha
bertahan. Kalau saya down, bagaimana dengan Ibu.”
Konsentrasi Merawat Ibunda
Sadar kondisi ibunya sangat
labil, Dhana memutuskan konsentrasi sepenuhnya untuk menemani Ibu menjalani
berbagai proses pengobatan. Tiap hari, sepulang kuliah, Dhana langsung ke rumah
sakit. Menghabiskan malam di lantai di bawah tempat tidur ibunya menjadi bagian
pola kehidupan Dhana. Menurutnya, posisi di bawah tempat tidur membuatnya cepat
mengetahui kalau ada apa-apa. Pagi-pagi biasanya ia pulang sebentar sekadar berganti
baju dan membersihkan badan, lalu kuliah. “Saya punya kos, tapi tidak pernah
saya tinggali karena kondisi ibu sangat tidak stabil. Selama kuliah tidak
sempat bersosialisasi dengan teman-teman karena waktunya tidak memungkinkan.
Saya lebih banyak ke Ibu. Saya hanya meninggalkan Ibu ketika kuliah,” tuturnya.
Pilihan untuk mendahulukan Ibu di atas semua urusan lainnya,
secara logika, sebenarnya tidak selalu mudah bagi Dhana, yang kebetulan kuliah
di sekolah yang lumayan ketat dalam kedisiplinan (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara – Red. Fimadani). Ketika
kondisi ibunya sedang sangat menurun, Dhana memilih tidka kuliah agar bisa
menemani ibunya. Keputusan itu, bukan hanya melewatkan kesempatan mendengar
materi kuliah langsung dari dosen, tapi juga membuatnya kesulitan mencapai
batas absen yang diijinkan.
“Kuliah tidak masuk, saya
tidak peduli. Saya lebih baik drop out daripada harus meninggalkan ibu saya.
Itu yang saya yakini. Boleh dibilang saya tidak pernah belajar meski saat
ujian. Bukan karena sombong, tapi memang tidak sempat. Saya sadar risikonya dan
juga siap menanggungnya. Tidak pernah ada konflik batin ketika memutuskan itu.
Prioritas saya untuk Ibu. Saya tidak pernah sedikitpun khawatir, bagaimana masa
depan saya, bagaiman alau tidak lulus atau drop out. Terserah deh, hidup saya
mau dibawa kemana. Saya ikut saja. Saya hanya berpikir bagaimana Ibu bisa
nyaman, bisa tertolong dari kondisi ini,” jelasnya.
Dhana bersyukur karena ia
sama sekali tidak ragu dan yakin menjalani keputusan mengesampingkan kuliah
untuk merawat ibunya. Ia merasa, Allah yang membuat hatinya mantap. Selain itu
ia berusaha melaksanakan pesan Ayah agar dia menjadi lelaki yang mampu
bertnaggungjawab. Dhana mengenang, ketika ia memijit ayahnya, beliau berpesan,
“Jika nanti ada sesuatu yang buruk menimpa keluarga, kaulah yang harus
menggantikan tugas Bapak, dan kamu harus siap.”
“Saya pikir itu pembicaraan
biasa. Saat Bapak meninggal, saya jadi ingat sekali pesan itu. Ketika Ibu
sakit, saya semakin yakin, ini yang dimaksud Bapak. Mungkin pesan itu yang
membantu saya untuk prioritas ke Ibu. Hanya Ibu, tidak ada hal lain yang saya
pikirkan. Saya tahu, saya juga punya kehidupan sendiri yang harus saya tata,
tapi saya yakin, saya tidak salah meninggalkan masa depan dan meilih Ibu. Itu
keputusan dan komitmen saya. Biarlah masa depan tidak jelas, yang penting saya
puas bisa mengabdikan diri pada orang tua,” ucapnya.
Usaha mencari kesembuhan
fisik serta menjaga mental ibunya gar terus emangat menjalani pengobatan
dilakukan Dhana tanpa henti. “Saya tidak pernah putus asa. Saya menikmati saja.
Bahkan saya banyak belajar dari semua ini. Saya coba resapi. Pelajaran yang
palin besar itu kesabaran. Kondisi ini membuat saya harus banyak mengalah,
bersabar, dan menerima. Ini pasti ada maksudnya, ada hikmahnya,” ujarnya.
Pertolongan Allah itu Indah
Di tengah berbagai usaha yang
menguras tenaga, waktu, dan tentu juga uang, Dhana justru kian merasakan betapa
banyak kemudahan tak terduga. “Banyak hal aneh yang saya rasa kayaknya tidak
mungkin kalau saya balik lagi, kondisi itu akan terjadi lagi,” kenangnya.
Dhana yang sering bolos
kuliah, akhirnya harus menerima risiko tidak diperbolehkan mengikuti ujian oleh
dosen yang kebetulan dikenal sangat disiplin dan tidak gemar menerima alasan
apapun dari mahasiswa yang sering tidak hadir kuliah. “Saya mengahdap dosen
itu, saya belum ngomong apa-apa, dia bilang, ya sudah ikut ujian saja. Banyak
pertolongan di luar dugaan. Masalah obat juga. Ibu sangat membutuhkan obat, tapi
kebetulan stock habis. Cari kemana-mana tidak ada, padahal ibu sangat
membutuhkan dan harus cepat. Saya kirim kabar ke banyak kenalan, tidak lama ada
yang memberitahu ada obat. gampang sekali,” tuturnya.
Selain itu, Dhana yang
memutuskan tidak peduli masa depan asalkan ibunya bisa mendapatkan perawatan,
obat dan segala yang terbaik, akhirnya bukan hanya mampu menyelesaikan
sekolahnya hingga Pasca Sarjana, namun juga dalam kondisi yang sangat baik di
pekerjaan maupun bisnis keluarga yang dikelolanya. “Saya merasa, ternyata ada
yang menjaa saya. Kuliah bisa selesai tepat waktu, usaha membesar, dan banyak
hal lainnya. Semua kemudahan itu, saya pikir justru tidak bisa saya dapatkan
kalau kondisi saya normal-normal saja. Buat orang lain mungkin biasa saja, tapi
bagi saya tidak. Ini Allah yang kasih,” ujarnya.
Semua kenyataan itu, ditambah
dengan keyakinan pada ajaran agama yang memang memerintahkan agar setiap anak
berbakti pada ibunya kian menguatkan Dhana untuk terus memegang komitmennya,
mendahulukan kepentingan Ibu di atas semua urusan lainnya, termasuk memberi
pengertian istri, kalau ada apa-apa antara Ibu dan istri, maka dia akan
mendahulukan ibunya. “Saya sangat bersyukur diberikan pendamping seorang istri
yang sangat mengerti dan memahami keadaan saya. Saya juga kadang-kadang
bersenang-senang dan pergi ke mall, tapi pikiran terus terkoneksi dengan Ibu.
Ketika sedang nonton, Ibu telepeon, saya bilang sedang di luar dan sebentar
lagi pulang. Dan saya memang langsung pulang,” ucapnya.
Urusan Dunia pun Dipermudah
Soal bisnis, sudah biasa bagi Dhana untuk menjadwal ulang atau
bahkan membatalkan pertemuan apapun, bila bersamaan dengan jadwal cuci darah
ibunya. “Saya tidak peduli kehilangan kesempatan. Malah saya pikir itu lebih
bagus. Daripada saya paksakan nanti malah kepikiran,” ujarnya.
Lagi-lagi kemudahan tak
terduga juga kembali dirasakan Dhana ketika ia menunda sebuah pertemuan yang
diprediksi akan mengalirkan keuntungan finansial dalam jumlah lumayan.
Penundaan itu membuat rekan bisnisnya merasa heran dan mendesak ingin tahu
penyebabnya. Dhana yang sebenarnya tidak gemar menceritakan kondisi keluarga
akhirnya menjelaskan kalau hari itu dia harus mengantar ibunya cuci darah. Tak
diduga, rekan bisnis itu malah sangat bersimpati dan hal itu mempermudah
hubungan bisnis mereka karena dia merasa orang yang pedulidengan ibunya berarti
juga orang yang bisa dipercaya.
Keseriusan Dhana menyesuaikan
aktifitasnya dengan kondisi Ibu tidak berarti ia tidak smepat kemana-mana. Ke
luar kota, bahkan ke lar negeri juga masih dilakukannya meski dengan berbagai
persiapan ekstra. Jauh hari sebelum keberangkatan, ia berusaha maksimal agar
kondisi Ibu dalam keadaan prima selama hari-hari kepergiaannya. “Kalau kondisi
tidak bagus, saya tidak jadi pergi. Saya siapkan kandidat. tante saya datangkan
seminggu sebelum berangkat. Saya training dulu. ketika ibu sudah merasa nyaman,
baru saya tinggal,” turutnya.
Menampung Berak Ibunda dengan Kedua Tangan
Bagaimana supaya ibunya lebih
nyaman, lebih bisa menikmati hidup, dan berkurang rasa sakitnya terus menjadi
pusat pemikiran Dhana. Ketika ibunya tengah sakit keras dan harus buang hajat
di pembaringan, Dhana tidak tega menggunakan pispot karena menurutnya benda itu
terlalu keras dan nanti bisa menyakiti tulang ibunya. Sebagai gantinya, ia menengadahkan
kedua tangannya dengan beralaskan tisu untuk menampungnya. “Saya biasa lihat
kotoran Ibu. Dari baunya segala macam, saya bisa tahu apa makanan yang
dimakannya. Warnanya kalau begini gimana, kalau ada darahnya berarti ambeien
ibu sedang sedang kumat. Jadi, sekaligus memantau. Saya bilang ke pembantu,
nggak apa-apa kamu jijik, itu memang bukan pekerjaan kamu, biar saya saja,”
ujarnya.
Dhana menambahkan, selain
agar ibunya nyaman, ia rela melakukan itu karena ia terpikir betapa dulu waktu
masih kecil, ibunya juga sering melakukan hal serupa, bahkan mungkin lebih.
“Ingatan dulu ibu juga melakukan ini sangat memotivasi saya. Ibu saya,
melakukan lebih dibanding yang sekarang saya lakukan. kasih ibu itu luar
biasa,” tuturnya.
Demi Kebahagiaan Ibunda
Ia juga mendukung sepenuhnya,
dan menyediakan sarana maksimal, ketika Ibunya berniat kuliah di sebuah
universitas islam untuk memperdalam agama. Bukan hanya menyediakan mobil dan
sopir untuk antar jemput, namun ia juga kerap menemani ibunya terutama
bila kesehatannya sedang menurun, tapi sang ibu tetap ingin kuliah.
Ketika kondisinya kian
menurun, dan kemudian Ibu yang terbiasa aktif fan enerjik itu tidak bisa
berjalan lagi, Dhana menelepon teman-teman kuliah ibunya agar mereka
memindahkan kuliah ke rumahnya. Sejak itu, tiap hari Senin, ibu dan
teman-temannya mengadakan pengajian di kediaman keluarganya di bilangan
Jatiwaringin, Jakarta Timur.
“Ketika akhirnya bisa
berjalan, Ibu drop lagi. Saya bilang, Ibu cuma tidak bisa jalan. Tapi yang lain
tidak sakit. Tapi memang perlu waktu. Ada tindakan lain juga. Saya lebih intens
bersama ibu. Saya pulang cepat. Saya tanya mau makan apa. Kalau ibu ingin
sesuatu, secepatnya saya usahakan terpenuhi. Itu akhirnya bisa menaikkan mental
lagi,” ujarnya.
Dhana mengakui, boleh dibilang
ia over protective terhadap ibundanya. Saking inginnya sang ibu tetap nyaman
dalam perjalanan, ia memilih membawa ibunya dengan ambulans untuk pulang pergi
cuci darah meski sesungguhnya masih bisa duduk. Lagi-lagi dengan harapan ibunya
akan lebih nyaman dan berkurang rasa sakitnya.
Ia sendiri yang menggendong
Ibu dari ambulans ke tempat tidur dan sebaliknya. Ia juga dengan teliti
menyiapkan sprei dan bantal sendiri untuk ibunya selama berada di ruang cuci
darah yang berlangsung sekitar lima jam. Selama wawancara dengan Tarbawi pun,
berkali-kali sempat terputus karena Dhana sibuk menggaruk dan mengusap bagian
mana pun dari tubuh ibunya yang gatal, yang karena dalam posisi berbaring agak
susah dilakukan sendiri oleh Ibu Sundari. Semuanya ia lakukan dengan lembut dan
wajah cerah.
Kesyukuran dan Kesabaran
Kini sudah tiga belas tahun
Dhana mengarungi hari-hari yang sepenuhnya ia persembahkan untuk Ibunya. Ia
mengungkapkan dari seluruh kejadian yang ia alami, satu-satunya yang membuatnya
stress dan sedih adalah ketika menyaksikan ibunya kesakitan. “Saya tidak tega
melihat ibu sakit. Kalau bisa saya gantikan sakitnya, saya akan gantikan,”
ujarnya.
Dhana mengakui, ia selalu
meyakinkan dirinya sendiri, bahwa kondisi ibunya tidak menurun, dan karena itu
, ia berharap Tuhan belum akan memanggil ibunya. “Secara fisik ya, dulu bisa
berjalan sekarang tidak. Saya punya keyakinan, itu hanya masalah tulang saja.
Tapi oragn-organnya selain ginjal baik. Saya selalu minta cek keseluruhan
sebulan sekali,” ucapnya.
Menghabiskan belasan tahun
mengabdi pada Ibu bukan berarti Dhana telah puas membahagiakan perempuan yang
melahirkannya itu. Ia merasa masih ada keinginan Ibu yang belum bisa
dipenuhinya, yaitu mendapatkan cucu dari Dhana yang telah menikah namun belum
dikaruniai momongan.
Di mata Dhana, Ibu yang kini
kerap digendongnya untuk dipindahkan dari tempat tidur ke tempat tidur yang
lain tetap sosok yang luar biasa yang dicintai sekaligus dikaguminya. ia selalu
teringat, ketika ayahnya wafat, ibunya begitu tabah, bahkan sempat mencoba
berbisnis serta melakukan berbagai hal untuk melindungi masa depan kedua
putranya, sebelum akhirnya jatuh sakit.
Selain tegar dan penuh cinta
kepada kedua putranya, Dhana juga mengagumi kataatan Ibunya menjalankan ibadah.
Meski sambil berbaring, ibunya tidak pernah putus shalat, bahkan mampu membaca
Al Quran setiap hari. “Ibu punya energi untuk melakukan ibadah yang saya tidak
miliki. Itu yang saya kagumi karena saya belum memiliki ketaatan seperti yang
dimiliki Ibu. Itu mempengaruhi saya untuk dekat sama Allah. Saya seperti ini
karena doa beliau,” tuturnya.
Dhana yakin, ia menjadi
seperti sekarang ini, dimudahkan dalam banyak urusan kerja maupun lainnya,
semua berkat da dari ibunya. “Saya merasa doanya itu luar biasa melindungi
saya. Ridha Ibu itu nomor satu. Meski dalam kondisi sakit, berkah dari ridha
Ibu tidak berubah. Misalnya sama Ibu sedang tidak enak, tegang, saya tidak
berangkat ke kantor atau meninggalkan Ibu sebelum masalah clear. Ibu harus
tertawa dulu atau tenang. paling tidak sudah bisa memaafkan saya, baru bisa
enak berangkat kerja,” tandasnya.
Namun ia mengakui,
bertambahnya usia memang ada hal-hal yang dia lakukan untuk melindungi ibunya.
Bila dulu semasa kecil atau remaja dia sering menceritakan segala kesulitan
pada Ibu, kini dia memilih untuk menyeleksi ketika hendak menceritakan
masalahnya. “Kalau saya sednag ada masalah, paling saya bilang, doain ya, Bu.
Saya hanya cerita detail untuk hal yang menyenangkan,” turutnya.
Berulangkali Dhana menyatakan
rasa syukur karena ketika ibunya jatuh sakit belasan tahun sailam, ia
menetapkan prinsip untuk menempatkan Ibu sebagai prioritas dalam hidupnya. “Say
bersyukur karena telah mengambil langkah yang tepat. Kalau saya pilih masa
depan, masa depan belum tentu dapat dan saya kehilangan sesuatu yang harusnya
saya lakukan. Saya bersyukur, sangat bersyukur dengan kondisi seperti ini.
Orang lain mungkin bilang kasihan, tapi saya bersyukur,” ujarnya.
Bagi Dhana, berlelah-lelah,
dalam suka dan duka merawat Ibu, akhirnya membuahkan banyak pelajaran tentang
kehidupan. Kesabaran, penerimaan, semua itu begitu dalam maknanya bagi Dhana.
kesabaran pula lah, salah satu pelajaran berharga yang diakuinya turut
memperbaiki kualitas dunia batinnya yang membuat nya merasa telah menjalani
hidup penuh arti. Perjalanan hidup yang tak sekadar mengikuti proses biologis,
namun juga menjadi perjalanan menuju pemahaman hakikat hidup dan juga hakikat
mati.
disalin dari Majalah Tarbawi Edisi 164 Th.8/Ramadhan 1428 H/21
September 2007 M
apabila kita amati dengan
seksama, Disini tercium juga aroma penghancuran STAN sebagai sekolah yang
melahirkan insan insan perpajakan yang jujur dan berdedikasi. Dan kalau kita
amati dengan seksama, sepertinya ada skenario yang benar benar sistematis untuk
menggiring opini masyarakat bahwa DJP itu tempatnya koruptor yang dilahirkan
oleh STAN. Gayus lulusan stan, ini Mas Dhana lulusan stan.
jadi ini bukan hanya kerjaan
satu orang sakit hati, namun sebuah konspirasi besar untuk membusukkan DJP yang
telah banyak berhasil melakukan pembenahan sistem perpajakan.
Yang berkepentingan :
a. orang orang yang sedang terbelit kasus besar dan diliput media
massa. mereka sangat untung dengan munculnya kasus mas Dhana ini karena mereka
tidak lagi di sorot media massa.
b. Pengusaha pengusaha nakal yang beberapa tahun terakhir ini
kesulitan mengurangi beban pajaknya karena semakin sedikit orang DJP yang bisa
di ajak main mata. Logikanya kalau STAN dihancurkan maka suplier SDM perpajakan
yang jujur dan berdedikasi akan terhenti, dan mengakibatkan masuknya unsur
unsur PNS asal asalan seperti di dinas / instansi lain yang tidak bisa
dipertanggung jawabkan dedikasi dan kejujurannya.
Subhanallah,..kasih ibu memang sepanjang masa...salam buat Dana, sungguh kisah yang menginspirasi
ReplyDeletepengorbanan seorang anak untuk ibunya ya... hmmm
ReplyDeletebener2 luar biasa banget anak muda itu.... jarang kayaknya saya temui anak kaya gtu jaman skrang,,,,sebuah pengabdian&amal soleh yg kekal kelak sampai kapanpun ,,,,
ReplyDeleteIni Dhana tersangka koruptor? Ah, yang benar aja, masa' orang sebaik itu bisa jadi koruptor??? Kasih sayang untuk ibunya sangata tinggi loh... tapi kok?!
ReplyDeleteiya mbak phuji..
ReplyDelete:)
betul mbak utami...
:)
semoga bissa dibudidayakan mas kloperer....
:)
yah saya ga tau tp coba baca paragraf paling bawah mak ocha....
lagi pula dia blm divonis...
jd ya masih praduga tak bersalah...
:))
Merinding saya bacanya, walau saya tidak tahu benar kasus yang dialami dhana. tapi saya yakin dia tetaplah orang yang baik dan bijak.
ReplyDeletePria yang baik itu adalah pria yang bisa mencintai dan merawat ibunya lebih dari segala sesuatu yang ia miliki
Apakah yang sudah telah kamu berikan pada ibumu. Kasih ibu memang tidak ada batasnya.
ReplyDeleteada hubungan ya sama STAN hehe aku gak paham :D
ReplyDeletetp kisah Dhana ini hebat aku salut seorang anak yg berbakti pada ibunya :)
speechless has bacanya.... tapi sih ambil positifnya aja..
ReplyDeleteoya juga agak2 janggal waktu dia bilang nampung e'e pake tangan. anjriiiit !!! berarti dia ikut masuk ke toilet dong? errrr........
figur yang luar biasa, salut.., mantab blognya bos, sy suka mampir dsini :)
ReplyDeleteaku kagak yakin,kalau dibilang itu kasus konspirasi ?
ReplyDeletesoalnya PPATK udah check rek semua pegawai negeri kok mas,dari beliau lah orang yang mempunyai nilai rek yang tidak wajar untuk sekelas pegawai pns
soalnya coba main mas ke Kantor Pajak di gatot subroto pusat, sudah bukan rahasia umum lagi kalau pegawai pajak banyak sampingan'a
maklum aku ngomong begini karena tahu sedikit tentang kondisi di lingkungan pajak
dhana sungguh luar biasa ya, .. . jarang lo seorang anak bisa seperti itu . .
ReplyDeleteSubhanallah sebuah kisah yang mengharukan dan memotivasi tentunya. Ridha Allah terletak pada ridha kedua orang tua. Apalagi ridha Ibu. Dahsyat sekali. InsyaAllah akan dimudahkan jika kita berbakti pada ibu bapak. Kelihatannya sulit, tapi malah sebaliknya, justru dimudahkan.
ReplyDeleteKisah yang inspiratif dan memotivasiku sobat.
semoga kebenaran di negeri ini tetap bisa menjadi kebenaran...:D
ReplyDeletemaksudnya sebagai ganti psipot gitu mas Nuel....
ReplyDeletesaya jg ga tau dengan jelas karena saya baca dari sebuah sumber tdk tahu langsung...
:)
nah ini baru gue suka.. Kisahnya oke di sambung ya gan..
ReplyDeletesubhanallah... wallahu alam...
ReplyDelete#loh?
Manusia memang hitam putih, yah. penilaian selalu berbeda saat sudut pandang berbeda. klo dipikir2 penilaian benar salah hanya berlaku saat "dimensi"nya di patok.
ah, sy ngomong apa sih.. :)
sedang galau, ga bisa komentar.
ReplyDeletedatang hanya bilang selamat malam...
terlalu berlebihan menganggap ada upaya menghancurkan STAN. yang pasti setan sudah menyesaki semesta ini, kini saatnya setiap saat memikirkan benar atau tidaknya laku hidup kita yang sudah terlanjur dianggap baik.
ReplyDeletemamah :(
ReplyDeletekasih ibuuu~
ReplyDeletehaduh, aq g paham soal si mas Dhana~
serahin sama penyidik deh
hai kakak :D
ReplyDeletekakak dapet tag dari aku loh.. silah kan kunjungi link ini :)
http://leligulali.blogspot.com/2012/03/14-dis-ass-ter.html
happy blogging <3
dibalik siapa dhana sekarang, tapi kisah ini benar2 inspiratif.. semoga yang membaca bisa mengambil pelajarn berharga dari kisah ini.. :)
ReplyDeletekeren, jadi terharu baca artikel ini. :)
ReplyDeletemerinding bacanya, sungguh menginspirasi. Semoga saya bisa melakukakan hal yang sama kelak.
ReplyDeletesmoga kasusnya Dana bs cepet selesai ya.. 'n kebenaran dpt terungkap sejelas2nya
ReplyDeleteBanyak sisi positif yang bisa di petik dari kisah dhana
ReplyDeleteKarena saya punya teman yang adik nya lumpuh | cacat mental fisik, cewek 17 taunan, dia juga anggap itu hal biasa, #bersihin, mandiin, banyak dah,
ReplyDeletesaya anggap itu luar biasa, semoga Allah memberikan yang terbaik atas semua ini. . . .
kasih ibu memang tiada 2 nya. haha
ReplyDelete